Kamis, 23 September 2021

dipaksa selesai.

Aku kira kita telah sama-sama dewasa untuk mengerti “perbedaan.”

Perbedaan bukan hal yang harus dihindari dan juga bukan kerumitan dari masalah-masalah tak berarti.

Kita sebelumnya sudah sama-sama belajar untuk tahu bahwa kau dan keinginan kita pada akhirnya akan dipaksa untuk satu. Satu langkah dan satu tujuan.

Tapi mengapa kau selalu mengambil jalan dipersimpangan untuk mengurus urusanmu sendiri? Tidakkah berarti lagi isi kepalaku ini?

Aku tidak pernah mau untuk memaksamu mengerti, mendikte satu persatu pikiran atau melebur kekuatanmu hingga padam. Bahkan sudah berpuluh kali persoalan itu kita bicarakan mungkin hingga mendengarnya pun kau sudah bosan.

Aku tahu takkan pernah ada usaha yang akan berakhir sia-sia, tapi jika harus dipaksakan terlalu cepat apakah akan berakhir indah pula?

Bukannya aku tak mengerti, bukannya aku ingin egois mempertaruhkan semua perjuanganmu. Bukan aku yang serakah hanya ingin didengarkan. Tapi ini soal kesepakatan bersama.

Ternyata dari rumitnya pikiran kita yang berselisih, lebih rumit lagi persoalan masa depan. Kita yang tak punya banyak bekal harus dipaksa untuk menyelesaikan ini sekarang.

Aku tak mau ada kata berpisah, hanya saja dengan semua ketakutan dan kegelisahan yang meminta kebijakan saat ini juga, aku tak bisa berbuat apa-apa.

Percayalah, aku tak pandai mengambil keputusan diwaktu yang sulit.

Entahlah.

Semua keraguan akhirnya berpencar, menggesa setiap elu pinta yang kau lontarkan.

Aku tahu bila jauh, pertentangan hebat akan terjadi. Bila dekat, semua akan berujung manis.

Jauh sebelum ini kita sudah berusaha membangun cerita, mengkokohkan pondasi yang mulai runtuh, agar puncaknya nanti bisa kita rasakan bersama. Hingga mewujudkan apa-apa yang menjadi harapan kita. 

Namun semua tak pernah bisa seindah bibir berkata.

Kita sama-sama sadar bahwa yang kita cari-cari selama ini adalah bagaimana cara untuk mempertahankan, bukan memperjuangkan.

Itulah kenapa, meski berat rasanya cerita ini memang dipaksa untuk diselesaikan.


Selasa, 18 Mei 2021

Episode 2 - Kala dan Elang

ELANG POV

Aku bergeming menggenggam tangan sendiri,

“begini…”

“ini bukan tentang berlebihan soal perasaan, pun aku mengerti manusia akan terus menjadi. bukan inginku untuk terlalu mencintai, semuanya tumbuh begitu saja. cinta bagiku adalah wahyu yang jatuh tak terelelak, enggan datang meski diminta, menolak pergi walau dikutuk disumpahi. aku mengerti betul apa yang terjadi pada diriku.”

“kala, meski kau berkata begitu, aku akan tetap percaya pada harapan karena anggun harapan aku kini sampai dihadapanmu. mungkin aku mengerti bahwa kekhawatiranmu adalah kekecewaan rupa kesakitan, tapi bukan itu alasanku untuk bisa berhenti percaya. merasakan sakit dan kecewa adalah bukti kemanusiaanku, bukti masih adanya hati yang merasa. Kau tau? harapan menjadi satu satunya alasanku untuk tidak bersedih disetiap datangnya pagi.”

“bagaimana bisa kau mencintai tanpa tau detail?" Kala mengernyitkan dahinya, terlihat ia tampak ragu.

“Bagiku ada 2 orang Kala, satu Kala yang kini duduk dihadapanku, dan satu lagi Kala yang berdiam dipikiranku. aku memutuskan untuk jatuh cinta hanya dengan 1 Kala, yaitu Kala yang kini duduk mendengarkanku berbicara. hanya dengan begitu, aku bisa mencintai dan terlepas dari baik buruk, menyadari yang aku cintai adalah manusia yang hidup, bukan pikiran yang berhenti. aku tidak butuh detail untuk bisa mencintaimu, semata karena aku percaya perasaan ini adalah pemberian, bukan diciptakan. untuk hidup didalamnya adalah harapan.”

Kala mulai mendengarkan ku secara seksama, deru nafas kini menjadi tak karuan. Gadis yang terlihat seperti anak kecil itu tadi enggan menatap ke arahku tapi kini wajahnya memandang seperti meratapi dengan berbelas kasihan. 

“Munafik rasanya jika aku tak ingin kau merasakan hal yang sama, beruntung aku cukup tau diri untuk bisa menghargai bahwa hubungan adalah tentang 2 orang yang saling menerima dan memberi. Perasanmu, biarlah milikmu, begitupun aku. sepertinya harapan akan selalu menjadi harapan, dan itu sama sekali tidak mengapa bagiku."

“ohiya, ingin sekali aku membacakan sepotong larik puisi Chairil, sebelum nanti kita berpisah..…"

Aku memejamkan mata sekilas mengingat bait demi bait puisi Chairil Anwar.

"Hidup hanya menunda kekalahan...
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan,
Sebelum pada akhirnya kita menyerah,”

"sampai kini aku pun kurang begitu mengerti maksud puisi itu, aku hanya suka penyusunan katanya, cantik bukan?"



KALA POV 

Aku terdiam cukup lama, memandang entah ke arah mana. semilir angin seperti tak bisa lagi memecah kesunyian, yang ku tahu udara seperti tak lagi terasa nyata. 

Apa yang telah disampaikan Elang membuatku kikuk, bagiku dia sangat menarik. Tapi aku belum sampai pada perasaan inti nya. Aku melepaskan nafas panjang sebelum akhirnya berbicara, mungkin sesak apabila rasanya hal ini tak kunjung disampaikan. 

"Hmmm... Aku mengerti, bagaimana pun juga apa yang ada dihatimu itu tak bisa dielak. tak ada yang bisa melawan perasaan, siapapun atas dasar apapun. Dan aku tidak akan mungkin mengusir paksa apa yang kini sedang dirasakan orang lain, baik dan buruknya. Sejujurnya aku turut bahagia bisa dicintai dengan sosok sepertimu.

Namun seperti yang kau katakan tadi bahwa lebih baik dan akan terasa berharga jika hubungan itu dilengkapi dengan rasa saling menerima dan memberi. Take and give, begitu lebih baik bukan?"

Kini pandangan ku beralih dari permukaan tanah yang kosong ke wajahnya. Bibirku tiba-tiba terangkat tersenyum menatapnya.

"cinta itu sederhana Elang, sesederhana aku untukmu dan kau untukku, itu saja. akan tetapi cinta yang aku inginkan tidak diperkenankan untuk keegoisan, memaksakan keadaan sama saja dengan mematikan perasaan seseorang secara perlahan. awalnya saja bahagia, lama-lama juga akan menderita. dan aku tak ingin begitu.

Aku hanya ingin aku juga terlihat sebagai seseorang yang membahagiakan dengan ketulusan, bukan karena atas dasar kasian atau tak sudi meremehkan perasaan."

aku memikirkan kembali ucapannya tentang kekhawatiran, rasa sakit dan kecewa. mustahil dia bisa terus-terusan merasakan ketiganya padahal jiwanya tengah meronta-ronta. paham aku pernah berada diposisinya dan itu.. menyakitkan.

"lalu, apakah kau sudah mencintai dirimu sendiri?" 

Elang menatapku, bagaimana jikalau dia tersinggung? aku tidak berani menatap matanya.


ELANG POV
"aku setuju denganmu, bahwa cinta itu sederhana. tapi bukannya manusia yang sulit untuk sederhana? merasa cukup atas apa adanya. bukannya manusia yang memperumit sesuatu untuk tujuan yang ia pun sebenarnya tak tau? aku teringat seorang tua pernah bicara padaku tentang betapa sulit untuk menjadi sederhana, karena nafsu untuk selalu mendapatkan yang lebih apapun itu."

Tanganku terasa seperti bergetar, entah pertanda apa. Kala hanya sibuk mencabuti rumput-rumput yang berada disekitarnya. Walaupun dia tidak seserius itu mendengarkan obrolan ini, tapi aku tetap ingin menyampaikan seluruhnya. "aku tau, sederhananya kita tak akan mungkin bersatu. hanya saja, izinkan aku untuk tetap merasakan perasaan ini sebentar. agar itu cukup bagiku."

"mencintai diri sendiri adalah konsep yang tak pernah aku mengerti hingga kini. apa yang harus aku cintai dari diri? bahkan aku sulit untuk merasa bangga atas apa yang telah aku lalui, bagiku semuanya biasa saja. itu juga sebabnya aku jarang membagi apapun kepada siapapun tentang diri sendiri. aku tidak merasa bahwa aku hidup untuk diriku, mungkin itu. 

seorang dimasa lalu pernah mengatakan bahwa akan lebih bahagia melihat orang lain bahagia karena apa yang kita lakukan, banyak jalan mencapai bahagia. sepertinya itu yang paling mempengaruhiku sampai kini, hingga kadang aku abai terhadap diri sendiri, aku sadar akan itu. 

aku tumbuh dilingkungan yang seperti itu, dimana orang lain sama pentingnya dengan diri sendiri, utamanya orang orang terdekatku. pernah sekali waktu aku sedikit keras untuk memperjuangkan keinginan, aku begitu pengecut untuk mengabaikan orang lain hanya untuk memperjuangkan apa yang aku inginkan. aku menyadari bahwa banyak harapan orang lain yang juga ada pada pundakku, karena itu juga aku terlalu berhati-hati untuk tak mengecewakan harapan harapan itu. mungkin kita sedikit berbeda, tapi bagiku hidup bukan tentang diri sendiri. kita hanya punya kesempatan hidup sekali, aku tau, tapi aku memilih bukan untuk mewujudkan semua keinginanku, aku lebih memilih menjaga harapan orang lain agar tidak kecewa sebelum semuanya terlambat. aku sangat teliti dengan penyesalan. 

lalu apa itu mencintai diri sendiri? sekali lagi aku tak tau apakah aku begitu. yang aku tau, aku menerima diriku sebagaimana kekurangan, sebagaimana aku menerima bahwa hidup bukan hanya tentang kebahagiaan. banyak badai yang aku lewati sendiri, hanya untuk bertahan dari setiap kemalangan yang datang."

"berdiri disampingmu adalah keingingan terbesarku, tapi aku sadar betul bahwa keinginan kadang berakhir tetap sebagai keinginan dan aku terbiasa dengan kemungkinan pelik. aku hanya penyair murung."


KALA POV

"Elang.. akhirnya kau bercerita tentang segala hal dihidupmu. tentang kepahitan, kesedihan bahkan tentang kau yang mulai meragukan diri sendiri. 

benar katamu, yang namanya masa lalu adalah pengalaman, menjadi tempat untuk kita belajar, dari kesalahan-kesalahan yang tak pernah kita duga. masa lalu adalah perjalanan panjang yang membagikan kita waktu untuk merasakan bahagia, kecewa, penyesalan tentu dengan porsinya masing-masing. itu adalah suatu hal yang sangat amat aku nikmati. 

bukankah itu seperti kita tumbuh dari bayi menjadi balita dengan merangkak, tertatih hingga akhirnya kita tumbuh dewasa berkembang seperti sekarang ini. kita punya banyak waktu bersama orang terdekat, bertemu orang-orang, bertukar pikiran, yang awalnya sama sekali tak pernah kita kenal lalu sampai pada akhirnya kita menaruh harapan dan keinginan pada orang tersebut. 

itu semua adalah segelintir proses dari perjalanan hidup kita kan? nikmati, seperti katamu kita hanya punya kesempatan hidup sekali. memang tak semua bisa sesuai dengan apa yang kita mau. barangkali keadaan tak berjalan dengan semestinya namun percayalah semua itu tak ada yang pernah sia-sia. Kita sekarang cuma perlu berdamai dengan apa-apa yang pernah meluka."

"Tunggu, Bagaimana bisa kau mencintai orang lain tapi pada dirimu saja kau tak peduli?"

Tidak semudah itu menyampaikan persoalan ini, dengan penuh kehati-hatian aku berbicara. Aku takut saja jika menyinggung perasaannya.

"Mencari detail kehidupan seseorang itu butuh waktu Elang, sementara kau meragukan dirimu untuk dicintai.."

"Sebenarnya aku tidak pernah menginginkan untuk mengusir harapan yang sudah ditanamkan seseorang, mungkin dalam kurun waktu yang lama dan pasti membutuhkan tenaga yang tak sedikit kan? setidaknya ketika harus memikirkan mereka di malam-malam panjang." Aku tergelak, mengingat apa yang telah aku lakukan pada malam hari sebelum tidur. 

"Seseorang bebas mempunyai rasa suka maupun benci. Kau benar Elang, banyak jalan mencapai bahagia tapi bahagia bukan sekedar keinginan yang terwujud saja, lebih daripada itu. Bagiku ketika kita bisa berdiskusi pada diri sendiri, menyelesaikan pertengkaran yang tak ada habisnya, entah pada saat tiba-tiba saja mata ini menangis seketika aku bisa tertawa bahagia. Nikmat sekali ya hidup ini ternyata? meski penuh persaingan, drama tapi tetap saja indah dirasakan. Mungkin bagi orang ini konyol, tapi tidak bagiku." 

Aku tertawa getir, lebih menertawakan apa yang terjadi pada kehidupanku.

"Jika kau bisa merasakan bagaimana rasanya mencintai walaupun seseorang itu tak pernah melihatmu mungkin kau merasakan bahagia yang semu pikirmu. Padahal menjatuhkan hati itu adalah sebuah pilihan dan keputusan setiap orang. 

Dan membalas perasaan seseorang termasuk sebuah keputusan, yang cukup sulit." 

Aku menatapnya lagi, kali ini dengan serius.

"Aku tak melarangmu, teruslah bertaruh pada apapun yang ingin kamu arungi. Tetap lah berpegang teguh pada keyakinanmu. Urusan hati tak perlu kau ragu, masa depan biarlah menjadi urusan yang Maha Kuasa.

Untuk saat ini aku ingin bebas mencintai dan dicintai. bebas untuk menemui dan ditemui. Kalaupun suatu saat kita berkisah, pasti ada jalan untuk melangkah."

---------------

POV ELANG ditulis oleh orang yang berbeda.

Terimakasih sudah singgah dan membaca.

Jumat, 05 Maret 2021

CERPEN EPISODE 1 - Kala dan Elang

"Kenapa? Kenapa kemarin waktu aku gak pernah respon, waktu aku gak peduli, menghindar dan segala macamnya, kenapa kamu masih memilih disini tetap berusaha?"

Aku bertanya tentang hal yang sebenarnya sudah ku ketahui jawabannya. jawaban sepele yang sudah berulang kali aku dengar. 

"Gak apa-apa.." katanya diam sebentar, matanya hanya menatap ke arah lurus tanpa memandang ke arahku barang sedetikpun, "Aku sebenarnya gak mau menjelaskan sesuatu yang bahkan aku sendiri gak tahu kenapa.."

"Loh kan kamu sendiri yang ngerasain, kenapa gak bisa jawab?"

"Ya karena soal perasaan itu gak butuh alasan. Dan aku tau perasaan itu gak perlu balasan, setidaknya cukup untuk dibuktikan kebenarannya. Benar kata orang, kalau cinta gak harus memiliki. walaupun lebih bahagia lagi rasanya kalau kita suka sama orang dan orang itu juga suka balik sama kita, tapi aku tahu disini kalau perasaan itu gak bisa dipaksa."

Elang panggilan akrabnya. Ia mulai menghembuskan nafasnya pelan. Pandangannya menunduk lalu membuka suara,

"Setiap aku bilang bahwa aku suka sama kamu, itu bukan berarti kamu harus membalasnya. Aku cuma pengen orang itu tau gimana perasaan aku, aku cuma pengen bertindak tegas soal hati. Aku gak mau mendam yang buat aku semakin sakit. Biarlah kalaupun dia gak suka aku, yang penting aku udah lega nyampein apa yang aku rasain."

Detik itu aku termenung, jauh ke dalam pikiranku sendiri. Ini kali pertama aku bertemu dengannya, setelah sudah 8 tahun kami tidak berjumpa. Aku dan dia adalah salah satu teman sd, yang dulunya jarak rumah kami berdekatan. Aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sejak ia pindah sewaktu duduk dibangku kelas enam, inilah hari dimana aku mengiyakan ajakannya untuk bertemu denganku. Mungkin sudah puluhan kali penolakan datang kepadanya dengan alasan aku sedang sibuk ataupun aku hanya malas pergi keluar. Salah satu alasan untuk menghindarinya, aku berpura-pura karena aku tidak ingin diganggu saja.

Mungkin aku adalah perempuan yang cukup egois, gengsian dan katanya agak jutek. Sebenarnya aku sadar saja bila laki-laki yang berniat untuk dekat denganku lama-lama akan menjauh. Bukan hanya karena sifatku yang kekanakan melainkan juga karena orangtuaku yang terlihat keras. Aku pikir mereka tidak akan tahan dan mengambil langkah mundur jika sekali datang menghadap kedua orangtuaku. 

Sejak dulu aku di didik untuk mandiri, hidup supaya tidak bergantung pada orang lain. Sejak kecil dari duduk dibangku sekolah dasar sampai sekolah menengah atas aku selalu pergi sendiri, entah itu jalan kaki ataupun menggunakan angkot. Sebagian jajan ku sisihkan supaya aku bisa pulang tidak panas-panasan jalan kaki karena jarak dari sd ku hingga kerumah cukup jauh, sekitar kurang lebih 2 km.

Ibuku pernah bilang ia adalah anak periang yang hobinya lewat didepan rumahku dengan sepeda roda duanya. Pernah sekali ia memanggilku terus menerus bareng teman-temannya, entah ingin mengajakku bermain atau hanya iseng memanggil saja. Dasar bocah. Aku tidak mau menemui tetanggaku, termasuk dia. Karena bukan tipeku bergaul dengan orang asing hahaha sombong sekali pola hidupku. Aku baru menyadarinya sekarang.

“Jadi kamu menyuruhku datang kesini untuk apa?”

Kini dia mulai mengarahkan wajahnya ke arahku, sorot matanya kini beralih menatapku. Aku sedikit kaget dia memandang tanpa aba-aba, alhasil aku hanya bisa kikuk mungkin kelihatannya salah tingkah.

“Aku hanya ingin menyampaikan perasaanku itu saja. Aku suka dengan kamu, tulus dari hati.”

“Stop. Gak usah dilanjutin, aku bisa tidak peduli itu mau datangnya dari hati ataupun dari langit alam semesta ini. Aku pengen nanya,”

Serius, wajahnya berubah kira-kira 180 derajat. Tadinya santai, sekarang seperti seseorang yang sedang diwawancarai.

“Bisa gak sih mukanya biasa aja?”

“Kamu mau tanya aku kan?”

“Iya tapi gak gitu juga mukanya,” gerutuku mendengus sebal.

Wajahnya berubah kembali kini lebih serius, tapi kemudian ia tertawa. “Aku cuman bersemangat untuk mendengarkan pertanyaannya.”

Bibirnya merekah senyuman, dengan pias mata yang berbeda. Tak tahu apa artinya.

“Ini bukan persoalan yang serius, jadi mukanya biasa aja ya. Oke?”

Elang mengangguk, “Oke, nanya apa?”

“Kalau misalkan kamu tahu posisi seseorang yang kamu sukai dalam hidupnya tidak teratur, kamu tahu segala keterbatasan dan kekurangannya. Apa kamu masih suka sama dia?”

Dia diam sebentar, memandangi rumput yang terhampar jauh jaraknya dari kami duduk. “Mungkin bisa dibilang gitu. Aku suka sama kamu bukan karena kelebihan, aku suka karena itulah yang aku rasain.”

“Kenapa bisa seyakin itu?”

“Seperti yang aku bilang diawal, aku gak punya alasan untuk menjawab pertanyaan kamu soal kenapa aku suka, kenapa aku bisa berusaha sampai sejauh ini.” Elang menjawab sambil menaikkan kedua bahunya. “Normal kan kita suka sama orang tanpa alasan?”

“Ini gak make sense aja, pertama kita gak pernah ketemu, yang kedua kamu gak pernah tahu kehidupan aku secara lebih jauh, ini tuh ibaratnya kayak orang asing yang datang ke aku terus minta makanan yang lagi aku makan, ya pasti aku langsung bingung dong. Siapa dia minta makanan sama aku tanpa bilang satu alasanpun? Logikanya pasti aku gak bakal ngasih kan?”

“Ini persoalan bukan karena pelit tapi ini karena aku gak kenal siapa dia, dan emangnya aku gak boleh punya persepsi yang sedikit,” aku mengangkat kedua jari membentuk tanda kutip untuk mengartikan hal yang tak baik, “karena dia orang asing.”

Mataku menatap wajahnya yang tengah seksama mendengarkan ceritaku. Ia diterpa kebingungan sekarang.

“atau contoh yang kedua, orang asing itu datang dengan muka iba dan tatapan berbelas kasihan, lalu dia minta aku buat berbagi separuh makanan itu dengannya dengan alasan ‘dia belum makan seharian’ mungkin aku bakalan kasih makanan yang aku punya dengan embel-embel kasihan. Kayak gitu?”   

Aku menatapnya, “Benar gak?”

“Kayaknya itu gak ada hubungannya.”

“Ibaratnya elang. Emangnya kamu mau diterima dengan kondisi orang itu terpaksa?”

Dia dengan cepat menggeleng, “Aku menyampaikan perasaan ini karena aku tahu kamu. Aku tahu orang tua kamu. Aku bisa pastikan semua tentang kamu baik, bahkan Ibuku saja suka. Gak mungkin juga Ibuku salah persepsi.”

“Okey kalau gitu. Terlepas dari apa yang kamu bilang dari awal. Aku cuma bisa bilang, aku minta maaf. Aku gak mau nolak kamu, aku cuma mau nyampein apa yang aku rasain. Kamu tahu kan perasaan gak bisa dipaksa?”

“Aku gak akan paksa kamu. Kamu pasti tahu yang terbaik buat kamu.”

“Kalau gitu aku gak harus jawab lagi kan? Terlepas dari itu semua, aku salut sama usaha kamu yang ngabisin waktu untuk usaha nyenangin aku. Makasih, tapi maaf aku gak bisa bales dengan hal yang sama.”

“Its okay. Makasih udah hargai usaha aku.”

Aku mengangguk, “Aku cuma mau ingatin kamu, jangan terlalu berlebihan soal perasaan. Jangan naruh ekspetasi sama manusia, karena manusia itu selalu bisa berubah, termasuk aku.”

“Percaya kan aja semuanya sama yang diatas. Kita gak tahu kedepannya gimana, bisa aja kita punya takdir yang sama. Don’t love to much. Jangan berharap banyak sama manusia ya, karena kalau sekali kamu berharap kamu akan bergantung terus dengan harapan itu.”

Aku menghelas nafas lega, syukur dia bisa mengerti. Sebenarnya aku ragu akan bahasa yang kusampaikan membuatnya tersinggung atau tidak, namun aku berusaha menyampaikan ini dengan tutur kata yang lembut. Aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku menyukainya padahal kenyataannya tidak. Aku juga tidak mau menyakiti perasaannya lebih lanjut.

Mungkin aku kasar, mungkin aku tidak bisa membuatnya bahagia hari ini. Tapi aku tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di hari esok. Aku hanya ingin begini saja, sendiri dengan kenyamanan yang aku punya sekarang. Setidaknya ia tahu, aku begini karena manusia tidak pernah bisa menyenangkan semua orang kan?

Aku tahu ada rasa kecewa yang muncul diraut wajahnya, aku tidak bisa menepis itu. Harapanku semoga semesta perlahan bisa menggantikan kekecewaannya. Walau tidak denganku mungkin dengan seseorang yang membuat ia lebih bahagia. Aku tak ingin menyayangkan keputusan yang sudah aku buat, karena ini soal kenyamanan di hati.

Jujur saja, belum pernah terjadi seumur hidupku menyukai seseorang dengan cuma-cuma. Aku dibesarkan oleh seorang Ayah yang mengerti bagaimana tabiat anaknya. Suatu hari nanti aku ingin peran Ayah digantikan oleh orang yang benar-benar tepat. bukan hanya aku terima karena aku tahu namanya. Tetapi juga mengerti segala tentangnya.

Langit cerah kian memudar, awan mendekati kegelapan. Tak bisa diterka setelah ini akan datang hujan atau senja menampakkan wujudnya. Lapangan ini masih terlihat sepi, seperti biasanya. Sedaritadi telingaku hanya mendengar suara motor yang berlalu lalang memasuki kompleks perumahan.

Aku berdiri menyapu celana yang terkena pasir sementara ia masih duduk. “Gak mau pulang?”

“Duluan.” Katanya kemudian.

Tak ada lagi kata yang ku dengar dari mulutnya, tak lagi ku lihat wajahnya karena tubuhku sudah membelakanginya dan berlalu dari lapangan sore itu. Aku bergegas jalan dari tempatku berdiri melangkahkan kaki untuk pulang. 

Hari cerah untuk jiwa yang tengah sepi.

Bila hari ini tak riang, tak apa.

Karena hati tak akan pernah berduka selamanya.


dipaksa selesai.