Kamis, 30 Juli 2020

PART 2 #SUARADIA - Setidaknya pernah bertemu

Elena-Katharina Sohn berät Menschen mit Liebeskummer. Was sie gelernt hat: je komplizierter die Beziehung, desto größer der Trennungsschmerz.

“Aku janji bakalan terus-terus sama kamu. Aku menunggu kamu disini. Jangan kemana-mana, aku gak mau kamu pergi dengan yang lain.”

“Ingat janji kamu. Kalau ada yang datang, aku gak akan segan untuk pergi. Karena aku gak mau maksain hubungan ada orang ketiga didalamnya.”

Selalu saja kalimat itu yang kamu layangkan untuk membuatku yakin. Kamu pikir mencintai semudah itu? Kamu pikir cara mempertahankan hubungan dengan cara seperti itu?

Sebenarnya yang dibutuhkan perempuan itu bukan janji. Tapi pembuktian. Kalau hanya mengatakan seratus kali janji dengan alasan yang dibuat sendiri, semua orang juga bisa. Kamu tidak perlu bermewah-mewah untuk menginjakkan kaki dirumahku. Kamu tidak perlu menyewa orang untuk mengatakan hal yang serius dihadapan kedua orang tuaku. Kamu juga tidak perlu menguras habis dompet untuk membelikan barang-barang favorit. Karena semua perempuan tidak membutuhkan itu.

Jika alasan kepergianmu adalah karena ragu dan tidak percaya diri, aku minta maaf. Memang semestinya begitu, setiap pertemuan hanya diciptakan agar dua orang saling menikmati kebersamaan walaupun hanya sebentar. Dan beberapa perasaan cuma jadi persinggahan yang sementara. Tapi tak mengapa, bukankah segala sesuatunya harus dinikmati walaupun itu kedengarannya menyedihkan. Ya walaupun orang-orang dipertemukan cuma satu bulan, satu minggu atau bahkan satu hari, tetap harus dinikmatikan?

Ada waktu dimana kita lagi makan dan ngobrol berdua. Tiba-tiba kamu membahas pembicaraan ke arah serius. Semacam deep talk, tapi rasa-rasanya ini konyol. Dibawah langit malam yang gelap, ditemani sedikit suara motor kamu mengatakan hal ini dengan tegas,

“Satu lagi, kalau sampai nantinya kita gak jadi satu. Kalau sampai kamu menikah dengan orang lain. Aku orang pertama yang bakalan ngucapin selamat bahagia sekaligus orang pertama yang ngucapin selamat tinggal. Karena aku bakal pergi dari hidup kamu selama-lamanya.”

“Aku bakal hapus semua tentang kamu, tidak ada komunikasi, tidak ada tatap muka. Semuanya akan hilang. Aku tidak main-main dengan kata-kataku barusan.”

Ternyata sebelum aku menemukan orang lain, sebelum aku menemukan pendamping hidup seperti katamu. Kamu sudah lebih dulu pergi. Tak ada kata-kata selamat tinggal yang baik-baik saja. Mungkin itu alasannya orang-orang pergi tanpa pamit. Tapi Dell, kalau janjimu itu tidak kau tepati. Bagaimana bisa kedepannya aku mempercayai kata-katamu lagi?

Atau mungkin memang seharusnya aku tidak mempercayai apa-apa. Karena sepertinya kamu tidak memunculkan niat untuk kembali.

Sesekali aku mengingat cerita kita dibelakang, bukan karena aku berusaha mengungkit lagi apa yang sudah berlalu. Terkadang cerita kita hanya membuat tawa saja. Kadang aku bisa memaksakan untuk tersenyum dikala pundak terasa penat. Dikala hari-hariku terasa melelahkan karena beberapa tugas yang belum terselesaikan.

Sekarang waktunya kita belajar, belajar dan belajar lagi. Memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki. Selagi kita masih hidup dibumi ini, selagi kita masih tinggal dirumah sendiri. Mulai lah dari meluangkan waktu untuk menyayangi diri sendiri. Menata hati yang kosong itu sebelum diisi dengan seseorang yang nanti akan memenuhinya kembali. Entah dengan orang yang pernah masuk, atau dengan orang yang berbeda.

Dan terus terang saja Dell, mungkin suatu hari kita akan dipertemukan lagi. Mungkin. Karena tidak ada didunia ini yang mustahil selagi semesta punya pemilik-Nya. Kalaupun benar waktu itu tiba jangan sampai hal-hal yang tidak diinginkan terulang lagi. Karena kesempatan kedua tidak akan pernah sama lagi.

Beginilah adanya Dell. Walaupun tidak bersama selamanya, walaupun kita gagal sekarang, walaupun kita tidak disatukan, setidaknya kita pernah dipertemukan. Ingatlah, Kota Jogja jadi saksi bisu kita pernah saling merindu dan membantu untuk bersatu.

           #SUARADIA #PART2


Note: Gambar ilustrasi dari pinterest.


Minggu, 26 Juli 2020

#Suaradia - ucapan maaf yang tak pernah terucap



Ternyata matahari, bulan, bintang yang jadi saksi gak cukup untuk menyatukan kita berdua. Ternyata 24/7 bareng itu gak cukup untuk mempertahankan hubungan kita.  Aku kira separuh hidup-ku bakalan ada kamu. Ternyata enggak Dell.

Dell kamu tahu? Kamu sekarang menjadi bayangan paling menyakitkan yang paling ingin aku lupakan. Aku kesal tiap kali harus mencari-cari cara untuk menciumi wangi yang seperti aroma tubuhmu. Aku sedih seringnya air mata ini membekas dibantalku, bukan seperti dulu yang selalu aku tumpahkan dibahumu. Dan setiap pertanyaan di-kepala yang datang berulang kali “Kenapa harus kita Dell? Kenapa harus kita yang dipisahkan?”

Rasanya egois untuk meminta pada Tuhan bahwa kita harus kembali bersama. Kembali menuntaskan mimpi yang belum terwujud. Kembali pada tugas kita yang belum terselesaikan. Kembali untuk menggali lagi impian kita bersama yang belum tercapai.

“Kalau ada waktu lagi untuk ketemu. Kita tetap bertemu ya, janji ya Dell?”

“Jangan sampai ini pertemuan terakhir. Aku harap kita bisa ketemu di Jogja lagi ya.”

Kata-kata yang pengen aku ucapkan tapi gak jadi Dell. Belum sempat, kamunya udah keburu pergi. Hidup ini memang dipenuhi mimpi-mimpi semu dan angan yang tak terwujud. Aku tahu tidak semua orang bisa memenangkan impiannya. Termasuk kita.

Mungkin dipertemukan saja sudah cukup. Karena kita pernah merayakan bahagia sama-sama. Berbagi kesedihan. Menumpahkan seluruh emosi aku dan emosimu yang tak pernah terucap.

Termasuk kesepian, semestinya kita merasakannya bersama.
Sepimu jadi sepiku juga.

Ïngat gak waktu selepas hari raya kamu bilang kamu lagi sendirian jagain warung dirumahmu? Kamu bilang rindu lalu pengen aku juga ikut bantuin kamu. Sama Dell. Aku pengen kesana, nemanin kamu dan bantuin kamu juga. Kan kita udah janji apapun dihadapin bareng-bareng.

Rasanya duniaku tidak seutuh dulu seperti selalu ada kamu Dell.

Dell ingat gak? kamu pernah bilang kamu ingin mengulang masa kuliahmu dari awal, lalu gak perlu menunggu waktu kamu inginnya langsung kenal aku. Tapi aku waktu itu masih menganggap semua itu omong kosong, omonganmu pun aku anggap sebagai obrolan basi-basi biasa.

Sekarang dan detik ini menjadi bagianku untuk merasakan itu semua Dell. Dimalam hari aku selalu membayangkan kita bisa bareng-bareng lagi. Tapi gak mungkin, itu semua terlalu sulit untuk dicapai. Apa benar Dell? Apa aku harus ku tarik lagi omonganku barusan?

Ingat gak waktu kita jalan melewati bebatuan menuju pantai? Disitu kamu nolongin aku yang terkilir jatuh. Aku malu ditertawai orang-orang, tapi justru kamu nenangin biar aku gak malu sendirian. Kaki dan celana ku basah semua kena lumpur tapi kamu mau bantu untuk bersihin celanaku yang kotor itu. Padahal disitu posisinya kita lagi diam-diaman karena satu masalah kecil. Meskipun raut wajahmu sudah lelah menghadapi tingkah aku, tapi kamu masih rela nolongin aku. Aku ngelihat ketulusan dan kepedulian kamu disitu Dell.

Ingat gak sebelum kita pacaran, waktu kita masih berteman. Aku pernah menunggu kamu pukul 04.00 sore, itu di waktu kamu berjanji akan menelpon aku. Dengan berbagai kecemasan aku menunggu kepulangan kamu dari kota nan jauh disana. Kota yang harus aku sembunyikan, karena itu luka. Kota yang kamu bilang akan bertemu dengan seseorang. Aku cuma takut kamu kasih kabar kalau kamu sudah mendapati apa yang kamu cari. Kamu sudah lebih bahagia bersama dia disana. Maaf Dell aku pernah egois, menginginkan kamu menjadi satu-satunya padahal kita belum bersama.

Banyak sekali kenangan yang terukir diantara kita Dell. Ternyata tidak semudah itu melupakan apa-apa yang pernah melekat di hati kita. 

Waktunya masih panjang Dell. Apa mungkin suatu hari dua orang paling asing akan menjadi orang paling dekat pada akhirnya?

Apa mungkin kita bakalan dipersatukan kembali untuk menjadi teman yang mengarungi hidup bersama-sama?

Apakah omongan ini yang harus ku tarik kembali Dell? Aku gak siap dengan segala resiko yang harus terjadi lagi. Mungkin memang semestinya aku melewati rintangannya nanti tanpa kamu. Mungkin ada sesuatu yang ingin ditunjukkan semesta lewat perpisahan ini. Ternyata terlalu banyak kemungkinan ya Dell.

Makasih ya Dell untuk waktu panjang yang tak tahu kapan bisa terulang kembali. Mungkin ada orang lain yang bisa membuatmu lebih bahagia. Dan mungkin memang seharusnya langkah kita terhenti cukup sampai disitu. Sampai kita harus melanjutkan lagi kisah kita masing-masing. Aku yakin sebenarnya diantara kita gak mau hal itu terjadi. Gak apa-apa, karena kita gak bisa melampaui skenario Tuhan yang sudah disusun untuk kita. Dan sekarang aku juga pengen lihat kamu bahagia, walaupun bukan dengan aku.

Terimakasih Dell, makasih sudah menyempatkan waktu bersama untuk saling membahagiakan. Pertemuan kita mengajarkanku untuk percaya bahwa ternyata kenangan yang berkesan sesingkat apapun, tidak akan pernah mati.

Dell aku tahu. Aku tahu sekarang waktunya untuk ikhlas. Merelakan kamu pergi adalah caraku untuk membiarkan kamu bahagia dengan jalanmu sendiri. jangan khawatir padaku. Aku siap jaga diri hari ini, esok dan seterusnya. Kamu juga harus gitu ya.

Setidaknya aku percaya, suatu saat jika memang kita tercipta untuk bersama kita akan menemukan jalannya kembali. Sesulit apapun jalannya aku tahu hidup akan terus berlanjut; ada ataupun tanpa kamu.

Maaf ya Dell, maaf untuk kata maaf yang gak pernah terucap.

Sebelum aku mengakhiri ini, aku mau ngucapin banyak sekali terimakasih untuk kamu yang mengisi waktu di Jogja.

Terimakasih sudah pernah menyayangiku.

Terimakasih seseorang yang kini menjadi teman terasing.

Sekali lagi, maaf karena kata-kata tidak selayaknya tak terucap.

Minggu, 05 Juli 2020

perempuan penyimpan duka

Gerimis hujan membasahi atap, namun suaranya tak mengeluarkan kebisingan. Seolah paham ada hati yang tengah dirundung pilu. Kehadirannya hanya mendampingi disaat-saat tertentu.

Selang masuknya satu pesan,
"If you need someone to talk, I am here. okay?"

saat pikiran datang menghasut, hati mengetuk seolah menyiratkan itu berbahaya. dikedalaman sana hati seakan bersuara: 

no, keep it that way. 
just you. 


selang beberapa menit, perempuan itu membaca kembali pesan yang sudah berlalu sejak sepuluh menit diabaikan. ia memijat tipis ujung kepalanya. seolah ada beban yang berat sekali untuk ditanggung.

mungkin ia sedang menerka-nerka apa maksud dari kepedulian lelaki ini? apakah benar 'simpati' atau hanya sekedar rasa keingintahuan. 

ada rasa cemas yang berputar-putar. jika pun harus dicoba, ia takut. takut perbincangan itu menjadi suatu keterpaksaan. 

that's way, tak ada yang diutarakan. perempuan itu memilih diam. mengabaikan tanya dari laki-laki yang tadi sempat menunggunya. tak ada yang benar-benar bisa memulihkan kesedihan. sekalipun seseorang yang sedang membawa kesenangan.

lalu dukanya kembali ia sembunyikan. dalam hening yang membisu. tak ada yang perlu dikatakan untuk merubah suasana. bahkan sekalipun harus ditemani oleh malam panjang dengan buliran air mata. 

ia sudah terbiasa.

dipaksa selesai.