Aku kira kita telah sama-sama
dewasa untuk mengerti “perbedaan.”
Perbedaan bukan hal yang harus
dihindari dan juga bukan kerumitan dari masalah-masalah tak berarti.
Kita sebelumnya sudah sama-sama
belajar untuk tahu bahwa kau dan keinginan kita pada akhirnya akan dipaksa
untuk satu. Satu langkah dan satu tujuan.
Tapi mengapa kau selalu mengambil
jalan dipersimpangan untuk mengurus urusanmu sendiri? Tidakkah berarti lagi isi
kepalaku ini?
Aku tidak pernah mau untuk
memaksamu mengerti, mendikte satu persatu pikiran atau melebur kekuatanmu hingga padam. Bahkan sudah berpuluh kali
persoalan itu kita bicarakan mungkin hingga mendengarnya pun kau sudah bosan.
Aku tahu takkan pernah ada usaha
yang akan berakhir sia-sia, tapi jika harus dipaksakan terlalu cepat apakah
akan berakhir indah pula?
Bukannya aku tak mengerti, bukannya
aku ingin egois mempertaruhkan semua perjuanganmu. Bukan aku yang serakah hanya
ingin didengarkan. Tapi ini soal kesepakatan bersama.
Ternyata dari rumitnya pikiran kita
yang berselisih, lebih rumit lagi persoalan masa depan. Kita yang tak punya
banyak bekal harus dipaksa untuk menyelesaikan ini sekarang.
Aku tak mau ada kata berpisah,
hanya saja dengan semua ketakutan dan kegelisahan yang meminta kebijakan saat
ini juga, aku tak bisa berbuat apa-apa.
Percayalah, aku tak pandai
mengambil keputusan diwaktu yang sulit.
Entahlah.
Semua keraguan akhirnya berpencar,
menggesa setiap elu pinta yang kau lontarkan.
Aku tahu bila jauh, pertentangan
hebat akan terjadi. Bila dekat, semua akan berujung manis.
Jauh sebelum ini kita sudah berusaha membangun cerita, mengkokohkan pondasi yang mulai runtuh, agar puncaknya nanti bisa kita rasakan bersama. Hingga mewujudkan apa-apa yang menjadi harapan kita.
Namun semua tak pernah bisa seindah bibir
berkata.
Kita sama-sama sadar bahwa yang
kita cari-cari selama ini adalah bagaimana cara untuk mempertahankan, bukan
memperjuangkan.
Itulah kenapa, meski berat rasanya
cerita ini memang dipaksa untuk diselesaikan.