Jumat, 05 Maret 2021

CERPEN EPISODE 1 - Kala dan Elang

"Kenapa? Kenapa kemarin waktu aku gak pernah respon, waktu aku gak peduli, menghindar dan segala macamnya, kenapa kamu masih memilih disini tetap berusaha?"

Aku bertanya tentang hal yang sebenarnya sudah ku ketahui jawabannya. jawaban sepele yang sudah berulang kali aku dengar. 

"Gak apa-apa.." katanya diam sebentar, matanya hanya menatap ke arah lurus tanpa memandang ke arahku barang sedetikpun, "Aku sebenarnya gak mau menjelaskan sesuatu yang bahkan aku sendiri gak tahu kenapa.."

"Loh kan kamu sendiri yang ngerasain, kenapa gak bisa jawab?"

"Ya karena soal perasaan itu gak butuh alasan. Dan aku tau perasaan itu gak perlu balasan, setidaknya cukup untuk dibuktikan kebenarannya. Benar kata orang, kalau cinta gak harus memiliki. walaupun lebih bahagia lagi rasanya kalau kita suka sama orang dan orang itu juga suka balik sama kita, tapi aku tahu disini kalau perasaan itu gak bisa dipaksa."

Elang panggilan akrabnya. Ia mulai menghembuskan nafasnya pelan. Pandangannya menunduk lalu membuka suara,

"Setiap aku bilang bahwa aku suka sama kamu, itu bukan berarti kamu harus membalasnya. Aku cuma pengen orang itu tau gimana perasaan aku, aku cuma pengen bertindak tegas soal hati. Aku gak mau mendam yang buat aku semakin sakit. Biarlah kalaupun dia gak suka aku, yang penting aku udah lega nyampein apa yang aku rasain."

Detik itu aku termenung, jauh ke dalam pikiranku sendiri. Ini kali pertama aku bertemu dengannya, setelah sudah 8 tahun kami tidak berjumpa. Aku dan dia adalah salah satu teman sd, yang dulunya jarak rumah kami berdekatan. Aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sejak ia pindah sewaktu duduk dibangku kelas enam, inilah hari dimana aku mengiyakan ajakannya untuk bertemu denganku. Mungkin sudah puluhan kali penolakan datang kepadanya dengan alasan aku sedang sibuk ataupun aku hanya malas pergi keluar. Salah satu alasan untuk menghindarinya, aku berpura-pura karena aku tidak ingin diganggu saja.

Mungkin aku adalah perempuan yang cukup egois, gengsian dan katanya agak jutek. Sebenarnya aku sadar saja bila laki-laki yang berniat untuk dekat denganku lama-lama akan menjauh. Bukan hanya karena sifatku yang kekanakan melainkan juga karena orangtuaku yang terlihat keras. Aku pikir mereka tidak akan tahan dan mengambil langkah mundur jika sekali datang menghadap kedua orangtuaku. 

Sejak dulu aku di didik untuk mandiri, hidup supaya tidak bergantung pada orang lain. Sejak kecil dari duduk dibangku sekolah dasar sampai sekolah menengah atas aku selalu pergi sendiri, entah itu jalan kaki ataupun menggunakan angkot. Sebagian jajan ku sisihkan supaya aku bisa pulang tidak panas-panasan jalan kaki karena jarak dari sd ku hingga kerumah cukup jauh, sekitar kurang lebih 2 km.

Ibuku pernah bilang ia adalah anak periang yang hobinya lewat didepan rumahku dengan sepeda roda duanya. Pernah sekali ia memanggilku terus menerus bareng teman-temannya, entah ingin mengajakku bermain atau hanya iseng memanggil saja. Dasar bocah. Aku tidak mau menemui tetanggaku, termasuk dia. Karena bukan tipeku bergaul dengan orang asing hahaha sombong sekali pola hidupku. Aku baru menyadarinya sekarang.

“Jadi kamu menyuruhku datang kesini untuk apa?”

Kini dia mulai mengarahkan wajahnya ke arahku, sorot matanya kini beralih menatapku. Aku sedikit kaget dia memandang tanpa aba-aba, alhasil aku hanya bisa kikuk mungkin kelihatannya salah tingkah.

“Aku hanya ingin menyampaikan perasaanku itu saja. Aku suka dengan kamu, tulus dari hati.”

“Stop. Gak usah dilanjutin, aku bisa tidak peduli itu mau datangnya dari hati ataupun dari langit alam semesta ini. Aku pengen nanya,”

Serius, wajahnya berubah kira-kira 180 derajat. Tadinya santai, sekarang seperti seseorang yang sedang diwawancarai.

“Bisa gak sih mukanya biasa aja?”

“Kamu mau tanya aku kan?”

“Iya tapi gak gitu juga mukanya,” gerutuku mendengus sebal.

Wajahnya berubah kembali kini lebih serius, tapi kemudian ia tertawa. “Aku cuman bersemangat untuk mendengarkan pertanyaannya.”

Bibirnya merekah senyuman, dengan pias mata yang berbeda. Tak tahu apa artinya.

“Ini bukan persoalan yang serius, jadi mukanya biasa aja ya. Oke?”

Elang mengangguk, “Oke, nanya apa?”

“Kalau misalkan kamu tahu posisi seseorang yang kamu sukai dalam hidupnya tidak teratur, kamu tahu segala keterbatasan dan kekurangannya. Apa kamu masih suka sama dia?”

Dia diam sebentar, memandangi rumput yang terhampar jauh jaraknya dari kami duduk. “Mungkin bisa dibilang gitu. Aku suka sama kamu bukan karena kelebihan, aku suka karena itulah yang aku rasain.”

“Kenapa bisa seyakin itu?”

“Seperti yang aku bilang diawal, aku gak punya alasan untuk menjawab pertanyaan kamu soal kenapa aku suka, kenapa aku bisa berusaha sampai sejauh ini.” Elang menjawab sambil menaikkan kedua bahunya. “Normal kan kita suka sama orang tanpa alasan?”

“Ini gak make sense aja, pertama kita gak pernah ketemu, yang kedua kamu gak pernah tahu kehidupan aku secara lebih jauh, ini tuh ibaratnya kayak orang asing yang datang ke aku terus minta makanan yang lagi aku makan, ya pasti aku langsung bingung dong. Siapa dia minta makanan sama aku tanpa bilang satu alasanpun? Logikanya pasti aku gak bakal ngasih kan?”

“Ini persoalan bukan karena pelit tapi ini karena aku gak kenal siapa dia, dan emangnya aku gak boleh punya persepsi yang sedikit,” aku mengangkat kedua jari membentuk tanda kutip untuk mengartikan hal yang tak baik, “karena dia orang asing.”

Mataku menatap wajahnya yang tengah seksama mendengarkan ceritaku. Ia diterpa kebingungan sekarang.

“atau contoh yang kedua, orang asing itu datang dengan muka iba dan tatapan berbelas kasihan, lalu dia minta aku buat berbagi separuh makanan itu dengannya dengan alasan ‘dia belum makan seharian’ mungkin aku bakalan kasih makanan yang aku punya dengan embel-embel kasihan. Kayak gitu?”   

Aku menatapnya, “Benar gak?”

“Kayaknya itu gak ada hubungannya.”

“Ibaratnya elang. Emangnya kamu mau diterima dengan kondisi orang itu terpaksa?”

Dia dengan cepat menggeleng, “Aku menyampaikan perasaan ini karena aku tahu kamu. Aku tahu orang tua kamu. Aku bisa pastikan semua tentang kamu baik, bahkan Ibuku saja suka. Gak mungkin juga Ibuku salah persepsi.”

“Okey kalau gitu. Terlepas dari apa yang kamu bilang dari awal. Aku cuma bisa bilang, aku minta maaf. Aku gak mau nolak kamu, aku cuma mau nyampein apa yang aku rasain. Kamu tahu kan perasaan gak bisa dipaksa?”

“Aku gak akan paksa kamu. Kamu pasti tahu yang terbaik buat kamu.”

“Kalau gitu aku gak harus jawab lagi kan? Terlepas dari itu semua, aku salut sama usaha kamu yang ngabisin waktu untuk usaha nyenangin aku. Makasih, tapi maaf aku gak bisa bales dengan hal yang sama.”

“Its okay. Makasih udah hargai usaha aku.”

Aku mengangguk, “Aku cuma mau ingatin kamu, jangan terlalu berlebihan soal perasaan. Jangan naruh ekspetasi sama manusia, karena manusia itu selalu bisa berubah, termasuk aku.”

“Percaya kan aja semuanya sama yang diatas. Kita gak tahu kedepannya gimana, bisa aja kita punya takdir yang sama. Don’t love to much. Jangan berharap banyak sama manusia ya, karena kalau sekali kamu berharap kamu akan bergantung terus dengan harapan itu.”

Aku menghelas nafas lega, syukur dia bisa mengerti. Sebenarnya aku ragu akan bahasa yang kusampaikan membuatnya tersinggung atau tidak, namun aku berusaha menyampaikan ini dengan tutur kata yang lembut. Aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku menyukainya padahal kenyataannya tidak. Aku juga tidak mau menyakiti perasaannya lebih lanjut.

Mungkin aku kasar, mungkin aku tidak bisa membuatnya bahagia hari ini. Tapi aku tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di hari esok. Aku hanya ingin begini saja, sendiri dengan kenyamanan yang aku punya sekarang. Setidaknya ia tahu, aku begini karena manusia tidak pernah bisa menyenangkan semua orang kan?

Aku tahu ada rasa kecewa yang muncul diraut wajahnya, aku tidak bisa menepis itu. Harapanku semoga semesta perlahan bisa menggantikan kekecewaannya. Walau tidak denganku mungkin dengan seseorang yang membuat ia lebih bahagia. Aku tak ingin menyayangkan keputusan yang sudah aku buat, karena ini soal kenyamanan di hati.

Jujur saja, belum pernah terjadi seumur hidupku menyukai seseorang dengan cuma-cuma. Aku dibesarkan oleh seorang Ayah yang mengerti bagaimana tabiat anaknya. Suatu hari nanti aku ingin peran Ayah digantikan oleh orang yang benar-benar tepat. bukan hanya aku terima karena aku tahu namanya. Tetapi juga mengerti segala tentangnya.

Langit cerah kian memudar, awan mendekati kegelapan. Tak bisa diterka setelah ini akan datang hujan atau senja menampakkan wujudnya. Lapangan ini masih terlihat sepi, seperti biasanya. Sedaritadi telingaku hanya mendengar suara motor yang berlalu lalang memasuki kompleks perumahan.

Aku berdiri menyapu celana yang terkena pasir sementara ia masih duduk. “Gak mau pulang?”

“Duluan.” Katanya kemudian.

Tak ada lagi kata yang ku dengar dari mulutnya, tak lagi ku lihat wajahnya karena tubuhku sudah membelakanginya dan berlalu dari lapangan sore itu. Aku bergegas jalan dari tempatku berdiri melangkahkan kaki untuk pulang. 

Hari cerah untuk jiwa yang tengah sepi.

Bila hari ini tak riang, tak apa.

Karena hati tak akan pernah berduka selamanya.


dipaksa selesai.